POTRET BATANG

Senin, 30 April 2012

UPAYA PELESTARIAN MANGROVE DI PESISIR PANTURA KAB.BATANG MELALUI PENDEKATAN BUTTOM-UP I. PENDAHULUAN Sebagian masyarakat Kabupaten Batang menganggap hutan mangrove adalah daerah yang kurang berguna, menjadi sarang nyamuk dan sarang hama serta menjadi sumber bibit penyakit dan kekumuhan. Demikian kesimpulan hasil pengamatan dan wawancara penulis khususnya terhadap beberapa masyarakat pesisir Pantura Kabupaten Batang. Karena anggapan tersebut, maka hutan mangrove kurang berkembang dan cenderung menyusut bahkan menuju kepunahan. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa akhir-akhir ini di pesisir pantura Kabupaten Batang terlihat gangguan-gangguan yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan perkotaan dan
lain sebagainya. Ada beberapa faktor penyebab adanya gangguan ini, antara lain (i) perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota, (ii) adanya program pembuatan jalan tol yang melalui pantura Batang yang secara langsung mendorong masyarakat apalagi pengusaha untuk siap-siap berinvestasi usaha di sepanjang pesisir pantura, (iii) semakin meningkatnya jumlah pengunjung obyek wisata pantai seperti Pantai Sigandu, Pantai Ujung Negoro, Pantai Kuripan, Pantai Celong, dan Pantai Pelabuhan, dan (iv) potensi sumber daya alam sekitarnya yang sangat mendukung peningkatan usaha dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena peranan hutan mangrove tidak dapat diungkapkan secara obyektif dan komprehensif. Pandangan kurang ekonomisnya hutan mangrove jika dikembangkan dibanding untuk usaha pertanian, pertambakan, cafĂ© dan restoran serta hotel di daerah wisata pantai, mendorong masyarakat untuk tidak lagi merasa berkompeten untuk melestarikan hutan mangrove. Apalagi jika cara pandang ini dikuatkan oleh oknum-oknum pemerintah dan pengusaha, maka sulitlah sudah untuk mengawal masyarakat melestarikan hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove di Indonesia semakin memprihatinkan. Sesuai data kementrian kehutanan, tingkat kerusakan mangrove sudah mencapai 60 persen dan dikhawatirkan akan terus meningkat. Perlu upaya bersama untuk mengatasinya agar kondisi pantai tidak mengalami degradasi. Sementara pada wilayah pesisir Kabupaten Batang Propinsi Jawa Tengah terdapat ekosistem mangrove non kawasan hutan seluas 3 382 hektar, dengan kondisi rusak berat seluas 1468 ha dan rusak sedang seluas 1 914 ha. Keadaan pantai tanpa tanaman mangrove, akan cepat mengalami degradasi akibat hantaman ombak. Akibatnya terjadi abrasi di kawasan pesisir. Rusaknya mangrove juga dapat menimbulkan bencana lainnya seperti menyebabkan air laut akan semakin masuk ke wilayah daratan dan mengubah air tawar menjadi asin. Imbasnya adalah munculnya berbagai penyakit. Menurut Darsidi (1984), hutan mangrove yang dahulu dianggap sebagai hutan yang kurang mempunyai nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya alam yang cukup berpotensi sebagai sumber penghasil devisa serta sumber mata pencaharian bagi masyarakat yang berdiam di sekitarnya. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya alam yang potensial telah lama diusahakan. Banyak manfaat yang dapat dinikmati masyarakat sekitar pantai pada umumnya dan masyarakat luas pada umumnya. Bentuk pemanfaatan minimal yang dapat dirasakan antara lain: tempat penangkapan ikan, udang, jenis-jenis biota air , dan lainnya. Sementara untuk kebutuhan kayu bakar, kayu bangunan dan arang khususnya untuk masyarakat pesisir pantura Batang bukan suatu keharusan diambil dari hutan mangrove. Karena masyarakat Batang pada umumnya yang berada di kawasan hutan Alas Roban dan kawasan Surban Wali sangat melimpah dengan persediaan kayu untuk kebutuhan tersebut (www.batang-berkembang.blogspot.com). Pada saat ini penataan mangrove belum dilakukan secara keseluruhan. Selain itu adalah demografi belum terkendali dan dinamika hutannya sendiri belum diungkapkan secara jelas dan tepat sasaran kepada masyarakat. Maka sampai sekarang kegiatan-kegiatan yang ada masih berjalan sendiri-sendiri baik yang dilakukan oleh instansi yang berkepentingan maupun oleh masyarakat terutama penduduk yang berdekatan dengan kawasan hutan mangrove. II. TINJAUAN TENTANG EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove ialah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara, 1987). Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna, estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). Hutan mangrove mempunyai multifungsi , antara lain: 1. Fungsi hayati, fungsi fisik dan fungsi kimiawi. Sebagai penyumbang kesuburan perairan sudah tidak bisa disangkal lagi karena kawasan hutan mangrove merupakan perangkap nutrisi dan bahan organik yang terbawa aliran sungai dan rawa. Bahan organik mengalami penghancuran oleh fauna hutan mangrove dan selanjutnya proses dekomposisi oleh jasad renik menjadi berbagai senyawa yang lebih sederhana. Bersama dengan nutrisi yang dibawa sungai, bahan tersebut diserap oleh tumbuh-tumbuhan (Suwelo dan Manan, 1986). 2. Fungsi ekologis ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh ekosistem lainnya. Misalnya, secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai yang didudukinya dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Secara biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya. Misalnya: sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna. Secara ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). 3. Tempat berasosiasi beberapa jenis binatang untuk daur hidupnya seperti Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan pentingnya mangrove bagi kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987). 4. Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya (Abdullah, 1984). III. PENYEBAB RUSAKNYA EKOSISTEM MANGROVE Dengan mencermati latar belakang dan kajian ekosistem mangrove di atas, dapatlah disampaikan bahwa penyebab kerusakan ekosistem mangrove tersebut sebagian besar oleh kegiatan budidaya perikanan (pertambakan), pertanian dan permukiman yang kurang peduli terhadap pelestarian ekosistem mangrove. Penyebab lainnya adalah kurang terkoordinasinya pembangunan di wilayah pesisir, banyaknya pembangunan kontruksi yang menjorok ke laut tanpa mengindahkan keadaan hidrodinamika perairan laut. Sehingga terjadi abrasi dan di lain tempat terjadi akresi. Penyebab lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan objek dan bukan subjek dalam upaya pembangunan. Padahal, dengan keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi-khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Oleh karena itu, yang menjadi question research dalam tulisan ini adalah pendekatan macam apa yang dapat ditempuh dalam melestarikan mangrove di pesisir pantura kabupaten Batang dengan melibatkan masyarakat dengan semua jajaran kepemerintahan di kabupaten Batang? IV. PENDEKATAN BUTTOM-UP DALAM UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE Di Kabupaten Batang, keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya. Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Kerusakan hutan mangrove tidak akan terjadi manakala masyarakat tidak dijadikan sebagai objek pembangunan melainkan menjadi subjek pembangunan, khususnya dalam masalah rehabilitasi hutan mangrove. Dengan demikian pendekatan bottom up perlu untuk digalakkan dan bukan sebaliknya mengingat dewasa ini masyarakat adalah sebagai ujung tombak dalam suatu kegiatan pembangunan di desa. Dengan turut diberdayakannya masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove maka usaha pelestarian hutan mangrove akan menunjukkan hasil yang lebih baik. Model pendekatan buttom-up sebagai langkah pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove seperti tampak pada gambar satu di bawah ini: Gambar 1 Bagan Pendekatan Buttom UP dalam Pelestarian Ekosistem Mangrove Sumber: Rahmawaty (2006) Dari bagai di atas dapat dijelaskan bahwa pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sedang masyarakat berlaku aktif dalam proses pelaksanaan pelestarian tersebut. Sehingga masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian pendekatan akan menumbuhkan adanya partisipasi dari anggota masyarakat dan ini juga sekaligus buttom-up merupakan proses pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung di dalam mengatasi global warming. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Sosialisasi dan koordinasi kegiatan . 2. Pembentukan kelompok masyarakat binaan dan peningkatan kapasitas masyarakat/kelompok tani wilayah pesisir dan laut dalam pelaksanaan pembuatan model tumpangsari mangrove/kebun melati dan rehabilitasi mangrove dan pantai . 3. Pembuatan model tumpangsari hutan mangrove dengan kebun melati. 4. Rehabilitasi mangrove mengadakan persediaan dan penanaman tanaman mangrove, termasuk pemeliharaannya. 5. Monitoring dan evaluasi. V. PENUTUP Dengan mengacu pada uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ekistensi hutan mengrove perlu dijaga kelestariannya karena (i) berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ekosistem satu dengan yang lainnya, (ii). dapat sebagai penghalang dan memperkecil dampak buruk jika terjadi bencana alam., (iii) dapat sebagai sumber mata pencaharian dan kelangsungan hidup bagi masyarakat pesisir dan (iv) karena fungsi-fungsinya maka hutan mangrove dapat meningkatkan penghasilan bagi masyarakat pesisir dan pembangunan perekonomian daerah. Sehingga jelas bahwa hutan mangrove sebagai salah ekosistem wilayah pesisir dan lautan memiliki banyak manfaat dan sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat. Ekosistem mangrove yang semakin rusak akan mengganggu perwujudan fungsinya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pelestarian eksistensinya dengan melibatkan unsur masyarakat dengan menggunakan pendekatan buttom-up. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Nugroho, S. G., A. Setiawan dan S. P. Harianto. 1991. “Coupled Ecosystem Silvo-Fishery” Bentuk Pengelolaan Hutan Mangrove-Tambak yang Saling Mendukung dan Melindungi dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta. Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Suwelo, I. S. dan S. Manan. 1986. Jalur Hijau Hutan Mangrove sebagai Wilayah Konservasi Daerah Pantai dalam Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta http://www.batang-berkembang.blogspot.com BIODATA PENULIS Nama : KARSO MULYO Tempat/Tgl Lahir : Subah, Batang, 9 November 1972 Alamat : Rt 05 Rw 01 Desa Banyuputih, Kec.Banyuputih, Batang KP:51271 HP:08122993594 Pendidikan : Mhs Pasca Sarjana MTPWK UNDIP Semarang Aktivitas Keseharian : Mengajar, Belajar, Berkebun dan Beternak Penghargaan : Guru Teladan Batang dan Jateng, Juara Nasional LKTI Simposium Guru WAJAH KAWASAN MANGROVE PESISIR PANTURA KAB.BATANG UPAYA PELESTARIAN MANGROVE DIPESISIR PANTURA KAB. BATANG MELALUI PENDEKATAN BUTTOM-UP OLEH: KARSO MULYO

SELAMAT DATANG

Selamat datang di Zona Komunitas Orang Batang. Kami merasa bangga anda mau berkunjung dalam situs ini. Bukalah jendela Kabupaten Batang pada Link" BATANG-BERKEMBANG". Sungguh menarik potensi daerah kami. Anda dapat berinvestasi di sini. Jangan lupa tinggalkan pesan dan sumbang pemikiran yang berguna bagi pembangunan di kabupaten Batang.

EKSPEDI STUDI PETERNAKAN ETAWA DI KARANGTURI-SLEMAN